Semua jenis ternak sapi dapat digunakan sebagai bakalan dalam penggemukan. Kendati demikian, tidak semua jenis ternak sapi berpotensi sebagai bakalan penggemukan. Beberapa indikator yang harus diperhatikan oleh peternak demi terpenuhinya kontinuitas sapi bakalan yaitu;
Pertama; jumlah populasi. Jumlah populasi yang maksimal sangat memudahkan peternak dalam menemukan sapi bakalan. Untuk mengetahui populasi ternak sapi di Indonesia, dapat digunakan data dari statistik peternakan nasional. Jumlah populasi ternak sapi pada tahun 2015 tercatat sebanyak 15,4 juta ekor.
Sapi bakalan
(jualhewansapimurah.wordpress.com)
(jualhewansapimurah.wordpress.com)
Dari jumlah populasi di atas, terdapat berbagai jenis sapi potong lokal. Sapi bakalan untuk penggemukan sebaiknya dari jenis yang banyak terdapat di daerah sekitar. Hal ini dimaksud agar mengurangi biaya transportasi pengadaan bakalan. Pembengkakan biaya transportasi dapat memicu makin tingginya biaya produksi.
Dalam pemilihan sapi bakalan, dapat menggunakan sapi bakalan lokal maupun impor. Kelebihan penggunaan sapi lokal yaitu; bakalan mudah diperoleh, tersedia dalam jumlah banyak, dapat diperoleh dengan harga yang terjangkau. Kekurangannya adalah memiliki efisiensi dan pertambahan bobot badan yang lebih rendah dari sapi bakalan impor.
Kedua; jumlah pertambahan populasi sapi. Pertumbuhan sapi potong setiap tahun mencapai 5,33 % atau sekitar 655.000 ekor per tahun. Pertambahan jumlah dengan melihat angka pertumbuhan ini cukup besar. Artinya, potensi ketersediaan dan kontinuitas sapi bakalan akan terjamin.
Ketiga; penyebaran sapi. Jumlah populasi sapi yang tinggi tidak mutlak merata di setiap daerah. Apalagi dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan. Karena itu, dalam pemilihan sapi bakalan harus diperhatikan penyebaran jenis sapi yang paling banyak terdapat di daerah atau lokasi peternakan dan atau daerah terdekat.
Penyebaran jenis sapi potong berbeda-beda dalam setiap daerah. Misalnya sapi Bali dan sapi Sumba Ongole banyak terdapat di Nusa Tenggara Timur (NTT). Akan tetapi, sapi Sumba Ongole mayoritas hanya terdapat di Pulau Sumba. Sedangkan untuk daerah NTT lainnya, penyebaran populasinya relatif kecil. Indikator penyebaran jenis sapi ini perlu diperhatikan untuk menjamin kontinuitas ketersediaan sapi bakalan dalam penggemukan.
Keempat; produksi karkas. Karkas merupakan bagian tubuh ternak hasil pemotongan dikurangi kepala, ke-empat kaki bagian bawah (mulai dari carpus dan tarsus), kulit, darah, organ dalam (hati, jantung, paru-paru, limpa, saluran pencernaan dan isi dan saluran reproduksi). Ginjal, lemak pelvis, otot diafragma dan ekor sering diikutkan pada karkas (Berg & Butterfield, 1976; Lawrie, 1985).
Hasil produksi karkas dinyatakan dalam persen (%), baik berdasarkan karkas panas (hot carcass) maupun karkas layu (cold carcass). Pada karkas layu biasanya terjadi penyusutan sebesar 2 – 3 %. Persentase karkas merupakan perbandingan antara bobot karkas dengan bobot tubuh kosong atau bobot potong dikalikan 100%. Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot ternak, kondisi ternak, bangsa, proporsi bagian-bagian non karkas, umur dan jenis kelamin. Konformasi karkas akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong.
Produksi karkas ditentukan oleh bobot badan ternak dan persentase karkas yang dihasilkan. Tingkat produksi karkas setiap jenis sapi potong berbeda-beda. Semakin tinggi produksi karkas, semakin mahal pula harga sapi tersebut. Hal ini dikarenakan, produk utama dari jenis ternak penggemukan adalah produksi karkas.
Tabel 1. Produksi Karkas Jenis Sapi Lokal
Jenis Sapi | Rataan BB Dewasa (Kg) | Rataan Persentase Karkas (%) | Produksi Karkas (Kg) |
Sapi Peranakan Ongole (PO) | 302,6 (Kg) | 45,3 (%) | 137,1 (Kg) |
Sapi Bali | 352,4 (Kg) | 56,9 (%) | 200,5 (Kg) |
Sapi Madura | 258,3 (Kg) | 47,9 (%) | 123,7 (Kg) |
Sapi Ongole | 368,0 (Kg) | 44,9 (%) | 165,2 (Kg) |
Sumber: Studi kasus Ternak Potong, 1967
Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi karkas tertinggi ditunjukkan oleh sapi Bali, diikuti oleh sapi Madura, sapi PO dan sapi Ongole. Ditinjau dari produksi karkas, sapi Bali lebih berpeluang digunakan dalam penggemukan. Hal ini didukung oleh penyebaran sapi Bali yang mudah ditemui di berbagai daerah di Indonesia.
Kelima; efisiensi penggunaan pakan. Efisiensi pakan dapat diketahui dari angka konversi pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan pakan pada sapi Bali adalah 9,8, sapi Ongole sebesar 13,29 dan sapi Madura 13,13. Semakin rendah angka konversi pakan, semakin efisien penggunaan pakan. Pertimbangan memilih sapi bakalan selain efisien penggunaan pakan, harus juga didasarkan atas empat pertimbangan sebelumnya.
Keenam; deskripsi sapi bakalan. ciri-ciri sapi bakalan yang akan digunakan dalam penggemukan yaitu; berjenis kelamin jantan, memiliki struktur tulang yang besar kendati kondisi tubuh kurus, tinggi gumba maksimal, keempat kaki normal atau tidak pincang, testes dalam keadaan normal, berumur 1,5–2,5 tahun. Struktur tulang yang besar memungkinkan perlekatan otot yang banyak.