Kendala yang sering dihadapi dalam pengembangan sub sektor peternakan adalah produktivitas ternak yang rendah, efektivitas reproduksi yang masih rendah, infeksi penyakit baik pada produksi maupun reproduksi, pakan yang tidak tersedia dalam jumlah dan mutu yang baik, tingkat pengetahuan peternak yang rendah, mayoritas peternak masih menggunakan teknik budidaya tradisional, serta kendalam hambatan sosial ekonomi lainnya yang menyebabkan populasi ternak terus menurun.
Salah satu hambatan pada produksi dan reproduksi ternak adalah serangan penyakit yang sulit diberantas dan frekuensi kemunculannya secara sporadis dan dapat menyebabkan kematian ternak. Karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan dan pengendalian penyakit hewan menular. Pencegahan bisa dilakukan dengan program vaksinasi dan pengobatan ternak, diagnosis kemajiran, mengintervensi peredaran obat hewan dan antar pulau ternak.
Menurut Soehadji (1995), berdasarkan status dan kondisi ternak, penyakit pada ternak dikategorikan menjadi tiga yaitu:
a. Ada (karier/reservoar); penyakit tersebut ada di sekitar tetapi tidak ada laporan, tidak begitu berbahaya, terkonsentrasi pada satu daerah, penyebaran dan intensitasnya tidak diketahui. Dalam istilah veteriner, secara serologis ada penyakit, tetapi tidak terlihat gejala klinis.
b. Muncul (sporadis/enzootik); penyakit yang timbul akibat kesalahan pada tatalaksana pemeliharaan. Kasusnya terbatas dan sering ditemukan pada ternak impor.
c. Mewabah (epizootik); penyakit yang timbul dengan intensitas kasus tinggi, penyakit yang timbul pertama kali pada daerah tertentu dengan tingkat penyebaran yang tinggi.
1. Malignant Catarrhal Fever (MCF)
MCF adalah penyakit infeksius yang fatal bila menyerang ternak sapi, kerbau dan rusa. Gejala klinis yang muncul pada ternak penderita yaitu demam dan terjadi radang pada saluran pernafasan bagian atas. Ternak sapi dan kerbau lebih mudah terserang MCF dibandingkan ternak lain.
Penyakit MCF terdiri dari dua macam yaitu; yang berhubungan dengan wildebeest (Wildebeest Associated MCF/WA−MCF) dan yang berhubungan dengan domba (Sheep Associated MCF/SA−MCF). Bentuk kedua MSF (SA−MCF) ini yang sering ditemukan di Indonesia. Ternak domba dianggap sebagai ternak yang paling berperan sebagai karier.
Ternak karier tidak menunjukkan gejala sakit, tetapi dapat menularkan penyakit MCF. Masa inkubasi penyaki MCF berkisar antara 2−4 minggu sampai dengan 10 bulan (Dharma dan Putra, 1997). Kasus MCF dikategorikan sebagai penyakit strategis karena penyebarannya hampir seluruh wilayah Indonesia.
Gejala klinis pada ternak yang terinfeksi parah yaitu gemetar dan keluar lendir dari lubang hidung. Secara makroskopis menunjukkan adanya ptechiae yang bisa ditemukan pada mukosa abomasum, usus dan otak. Selain itu, terjadi pembesaran limfoglandula. Sedangkan secara mikroskopik terlihat adanya lesi yang mencolok yaitu, vaskulitis pada pembuluh darah otak, terutama terjadi pada medulla dan cortex cerebri.
Vaksin untuk untuk mencegah penyakit MCF hingga kini belum ada. Karena itu, upaya pengendalian penyakit dilakukan dengan cara mencegah penularan virus dari hewan reservoir ke hewan peka. Caranya adalah memisahkan pemeliharaan kerbau dari domba (Hardjoutomo et al., 1997).
Tingkat kematian (mortalitas) penyakit ini mencapai 95 % dan lagi belum ada vaksin sehingga disarankan setiap ternak penderita dipotong. Daging dari ternak dapat dikonsumsi selama kondisi fisik ternak, menurut pengamatan dokter hewan yang berwenang, dapat dipertanggungjawabkan (Ditkeswan, 1986).
2. Septicaemia Epizootica (SE)
SE adalah penyakit menular yang bersifat akut. Penyebabnya adalah kuman Pasteurella multocida. Penyakit ini bisa menyerang kerbau dan sapi. Gejala khusus ternak yang terserang yaitu adanya suara ngorok dan bronchopneumonia akut.
Karena gejala khas tersebut, penyakit SE sering disebut juga penyakit Ngorok. Infeksi penyakit SE sering ditandai dengan kematian ternak secara mendadak. Kasus pada kerbau sering ditemukan kasus yang akut atau per akut dan kematian terjadi dalam waktu 24 jam, tanpa menujukkan gejala awal.
Gejala klinis yang ditunjukkan oleh ternak yang terkena yaitu demam tinggi, tremor, depresi dan ternak enggan bergerak. Keluar lendir dari lubang hidung dan saliva secara berlebihan. Masa inkubasi penyakit SE yaitu 10−14 hari dan kematian terjadi dalam 24−48 jam setelah adanya gejala klinis. Tingkat kesakitan (morbiditas) mencapai 60% dengan tingkat kematian penderita (case fatality rate) hampir 100%.
Pengendalian Penyakit SE dilakukan dengan upaya pencegahan, pengobatan dan pemberantasan. Upaya pencegahan diantaranya yaitu; pengawasan ketat terhadap lalu lintas ternak, vaksinasi secara berkala,pemberian antibiotik pada ternak terinfeksi.
Upaya pemberantasan yaitu pada kondisi sporadic, dilakukan dengan memberantas ternak terinfeksi dan antiserum SE pada ternak yang diduga terinfeksi. Dalam kondisi epizootic, pemberantasan dilakukan di perbatasan antara daerah tertular dengan daerah bebas.
Upaya pengendalian dilakukan mengikuti kebijakan veteriner yang berlaku. Pengobatan penyakit dilakukan dengan seroterapi menggunakan serum kebal homolog secara intra vena dan sub kutan. Penggunaan serum sebaiknya dikombinasikan dengan antibiotika dan kemoterapi. Antibiotik yang digunakan bisa berupa preparat Streptomisin, Terramisin, Aureomisin dan atau Sulphadimidin. Ternak yang terinfeksi SE bisa dikonsumsi asalkan dimasak dengan baik dan benar (Dirkeswan, 1977; Subronto, 1985; OIE, 2005).
3. Enterotoksemia
Enteroksemia seringkali menyebabkan kematian ternak secara mendadak. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Clostridium perfringens yang tumbuh cepat dalam tubuh. Clostridium perfringens merupakan flora normal dalam saluran pencernaan ternak. Namun dalam kondisi tertentu dapat menimbulkan penyakit (Clostridial septicaemia).
Penyakit ini berkaitan dengan perubahan iklim atau perubahan manajemen pakan secara mendadak. Perubahan ini menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan.
Worrall et al. (1987) menyebutkan gejala klinis yangditunjukkan oleh ternak terinfeksi seperti; anoreksia, sulit bernafas, keluar busa dari mulut dan atau hidung, adanya gangguan syaraf, dan akhirnya mati. Suhu tubuh mencapai 40oC. Secara Patologi Anatomi, ditemukan adanya sianosis pada mukosa mulut dan hidung, lumen trakhea berbusa dan hyperemia pada epiglottis.
Pencegahan penyakit Enterotoksemia akibat C. perfringens tipe A pada kerbau dapat dilakukan dengan vaksinasi. Vaksinasi terutama ditujukan pada hewan-hewan yang beresiko tinggi yang diharapkan dapat mencegah kematian. Hewan beresiko tinggi adalah hewan yang mudah stres karena perubahan pakan secara mendadak, perubahan musim dan penyapihan dini.
Selain itu, bisa dilakukan pembuatan vaksin Alum Precipitated Toxoid (APT) toksin alfa yang dihasilkan oleh C. perfringens tipe A. Toksin terseubut kemudian diubah menjadi toksoid dengan penambahan 0,6% formalin. Lalu dilakukan pengujian pengamanan (safety test).
Vaksin bisa diuji-coba pada kerbau dan sapi yang hasilnya semua hewan memberikan respon yang baik setelah vaksinasi. Ternak kerbau divaksin dengan dosis 2,5 ml/ekor/SC, lalu diulang pada vaksinasi kedua dengan interval waktu satu bulan. Vaksinasi berikut dilakukan pada bulan ke-enam.
4. Surra
Surra adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh parasit protozoa Trypanosoma evans. Penyakit Surra bisa bersifat akut maupun kronis. Lokasi penyebarannya yaitu di daerah tropik dan subtropik, kecuali Australia.
Penyakit Surra (Trypanosomiasis) termasuk penyakit hewan menular penting yang menyerang ternak ruminansia besar dan kuda. Penyakit Surra bersifat akut pada kuda dan bisa meneyebabkan kematian bila tidak diobati. Penyakit Surra pada kerbau bersifat kronis dan kurang pathogen (Sukanto, 1994).
Kendati demikian, penyakit Surra pada kerbau kadangkala bersifat akut (Levine, 1973). Partoutomo et al. (1995) melaporkan bahwa, ternak yang diinfeksi dengan injeksi T. evansi (dosis 107 Trypanosome) secara intra venus, menunjukkan tidak terjadi gejala klinis akut. Akan tetapi, gejala klinis gejala klinis (Surra kronis) akan muncul beberapa waktu kemudian. Gejala yang timbul pada ternak muda dan anak tampak lebih nyata.
Gejala klinis yang tampak pada kerbau yang terinfeksi (Surra kronis) yaitu tampak kurus, anoreksia, anemia dan terjadi oedema pada bagian dada hingga bawah perut, suhu rektal lebih dari 40°C. Kerbau yang terkena infeksi kronis berperan sebagai karier. Penyakit ini ditularkan secara mekanik oleh lalat penghisap darah dari genus.
Upaya pengendalian penyakit Surra bisa dilakukan menggunakan obat trypanosidal maupun insektisida (untuk memberantas lalat). Pengendalian dilakukan secara efisien sebab obat Surra sangat sulit diperoleh dan harganya sangat mahal (Sukanto et al., 2000).
Upaya pengendalian secara imunologik tidak dapat diharapkan sebab adanya variasi antigenikyang cepat (Partoutomo, 1992). Obat untuk penyakit Surra adalah Suramin (Naganol) dan Isometamidium Chloride (Trypamidium). Dosis pemberian Suramin hewan sakit yaitu 10 mg/kg dan jika dalam larutan; 10% secara intra vena. Dosis pencegahan yaitu 3 mg/kg (Ward dan Wirosaputro, 1986). Ternak impor yang sensitif terhadap parasit ini, sebaiknya diobati saat baru tiba di daerah endemik Surra.
Naganol masih dianggap obat yang paling baik. Penggunaan pada kuda dengan dosis 2 gr/ekor bisa melindunginya dari uji tantang selama 52−73 hari. Untuk tujuan perlindungan absolut perlu diinjeksi 2 gr/ekor setiap bulan.
5. Fasciolosis
Fasciolosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Fasciola hepatica atau Fasciola gigantica. Fasciolosis sering terjadi pada ternak ruminansia. Infeksi Fasciolosis bisa menyebabkan menyebabkan penurunan bobot tubuh ternak, pertumbuhan terhambat dan sebagian organ hati rusak.
Gejala klinis yang timbul pada ternak penderita ada dua jenis. Pertama, Fasciolosis akut; yaitu bentuk invasi traumatik pada parenkim hati oleh cacing hati yang belum dewasa. Trauma dan reaksi inflamasi yang berat akan menimbulkan rasa sakit di daerah perut dan sering diikuti kematian ternak dalam beberapa hari. Kedua, Fasciolosis kronis; yaitu keadaan yang mana banyak ditemukan parasit cacing dewasa yang menyebabkan kalsifikasi dan fibrosis dan pembesaran saluran empedu..
Brotowijoyo (1986), mengatakan bahwa penyebaran Fasciolosis membutuhkan induk semang seperti siput air tawar (L. rubiginosa). Lahan sawah irigasi adalah lingkungan yang mendukung perkembangbiakan siput L. rubiginosa. L. rubiginosa.
Upaya pengendalian Fasciolosis bisa dilakukan dengan pengobatan ternak terinfeksi dengan flukisida (Triclabendazole), sanitasi kandang dari feses, penggunaan pakan yang bebas metacercaria.
Pengobatan dilakukan dengan Triclabendazole (TCBZ). Pemberian pada ternak satu bulan setelah panen terakhir pada musim kering. TCBZ merupakan obat cacing pada sapi dan kerbau.Kecepatan respon tubuh terhadap TCBZ pada sapi lebih cepat dibanding kerbau, tetapi penurunan antibodi terendah terjadi bersamaan yaitu 7 minggu setelah pengobatan (Estuningsih et al., 1999).
Penggunaan TCBZ lebih disukai peternak meskipun bisa menyebabkan resistensi. Sanitasi kandang secara rutin bisa menekan potensi tumbuh-kembang Fasciola sp. Sebaran metaserkaria F. gigantica banyak terjadi pada jerami padi terutama pada bagian bawah batang. Karena itu, jerami padi untuk pakan sebaiknya bagian atas.
Kalaupun digunakan jerami bagian bawah, sebaiknya dijemur dulu selama tiga hari atau membuang kulit luar jerami. Paya pengendalian secara biologis dilakukan dengan manajemen kandang yang baik. Kandang itik ditempatkan disebelah kandang ternak (kerbau/sapi). Dengan demikian resiko penularan cacing hati bisa dikurangi. Hal ini karena terjadi kompetitisi antara larva trematoda asal unggas dan larva F. gigantica asal ternak kerbau/sapi di dalam siput L. rubigenosa.
Ternak ayam dan bebek bisa juga dimanfaatkan untuk mengontrol pengendalian Fasciolosis. Caranya yaitu melepas ayam atau bebek di daerah endemik cacing hati pada ruminansia. Guna memperoleh hasil yang setara seperti menggunakan itik, jumlah ayam yang digunakan harus 2-3 kali lebih banyak. Sedangkan penggunaan bebek memiliki efektivitas yang sama dengan itik.